Virus Corona, Rasisme, dan Empati: Bagaimana Kita Menyikapinya?

Awal tahun 2020 disapa dengan wabah virus mematikan baru yang dikenal sebagai virus Corona atau Covid-19. Virus corona merupakan virus menular dengan gejala meliputi sesak napas, batuk, dan demam. Virus Corona pertama kali ditemukan di Pasar Makanan Laut Hunan di Wuhan, China. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menaikkan status virus Corona sebagai darurat global. Hal ini dikarenakan kasus penyebaran yang semakin meningkat, dan belum ditemukan obat atau vaksin untuk menangani virus tersebut. Hingga kini, terdapat 24 negara terdampak dan telah memakan korban jiwa meninggal hingga lebih dari 1.000 orang di dunia. 

Virus corona yang sangat mematikan tersebut tentunya membuat seluruh orang di dunia berempati sekaligus ketakutan. Segala cara mereka lakukan agar dapat terlindungi dari wabah tersebut. Namun, semenjak virus ini merebak, rasisme terhadap orang China semakin meningkat. Mereka menganggap orang China sebagai ancaman. Tak banyak masyarakat memilih untuk mengucilkan bahkan mengusir mereka kembali ke negara asalnya. 

Rupanya, hal ini tak hanya terjadi saat kasus virus Corona merebak, lho. Menurut Jamil Zaki, seorang doktor psikologi dari Universitas Harvard, pemberitaan terus menerus mengenai suatu bencana akan menguras rasa empati seseorang. Hal ini dinamakan “compassion fatigue” atau kelelahan berempati. Menurut penelitian, kelelahan empati umum terjadi ketika seseorang berhadapan dengan bencana berskala besar.

Menginformasikan penderitaan orang lain tidak selalu membangkitkan empati, bahkan bisa menjadi kontra-produktif. Contohnya saat terjadi banjir yang digambarkan dalam cerita gambar yang membuat orang lain merasa tidak berdaya atau kelelahan. Istilah compassion fatigue muncul pada pekerja rumah sakit. Setelah melakukan pekerjaan secara profesional untuk menghadapi rasa takut dan sakit, ada masanya mereka kehabisan kepedulian pada orang lain. Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, bisa dilihat dari informasi yang mudah kita dapatkan dari manapun terutama internet. Informasi yang diberikan secara terus menerus menghasilkan perasaan mati rasa, mengurasi empati, dan memotivasi untuk berhenti peduli pada korban tragedi.

Menurut beberapa penelitian, orang-orang dapat kehilangan minat terhadap bencana secara cepat. Awal pasca bencana, empati berada dalam posisi puncak. Tiga minggu pasca bencana terjadi penurunan pemberian sumbangan terhadap korban bencana. Tiga bulan pasca bencana, tidak ditemukan lagi pemberian bantuan. Hal ini tak lepas dari durasi yang dibutuhkan korban bencana untuk pulih kembali.

Meski begitu, segelintir orang tetap melakukan donasi hingga korban pulih. Mereka disebut “over-comppasionate people” atau orang yang sangat berbelas kasih. Untuk mengatasi kelelahan empati, yang perlu dilakukan adalah melakukan transparasi donasi. Ketika media melakukan hal itu, pandangan masyarakat akan berdonasi akan lebih positif. Hal ini akan menunda kelelahan empati, dan membuat mereka tetap memberi bantuan hingga korban pulih.

 

Ditulis oleh: Nurul Izzatur R

Sumber:

Dholakia, U. (2017). How long does public empathy last after a natural disaster?, diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-science-behind-behavior/201709/how-long-does-public-empathy-last-after-natural-disaster

Gunadha, R. (2020). Turis china diusir di sumbar, sentimen rasis berkedok virus corona, diakses dari https://www.suara.com/news/2020/01/27/165632/turis-china-diusir-di-sumbar-sentimen-rasis-berkedok-virus-corona

Kim, J. (2020). What coronavirus teaches us about racism: Xenophobia spreads, diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/valley-girl-brain/202002/what-coronavirus-teaches-us-about-racism-xenophobia-spreads

Write a comment