Rasisme pada Mahasiswa Papua, Bagaimana Dunia Psikologi Memandangnya?

Minggu ini sebuah kabar menghebohkan dari salah satu kota di Indonesia. Terjadi kerusuhan terkait rasisme yang terjadi di asrama mahasiswa papua di daerah Surabaya. Oknum yang mendatangi asrama tersebut mengancam akan mencelakai para mahasiswa asal Papua yang tinggal di asrama tersebut. Tidak hanya sampai disitu, selang beberapa hari setelahnya, muncul rekaman video amatir yang kemudian viral di media sosial. Rekaman tersebut berisi makian berbau rasial kepada mahasiswa asal Papua tersebut. Hingga saat ini banyak masyarakat yang mengecam aksi tersebut. Jagat sosial media viral dengan hashtag #KitaSemuaBersaudara untuk memberikan dukungan kepada masyarakat Papua.

Menurut Hoyt (dalam Shouhayib, 2015), rasial adalah suatu bentuk prasangka tertentu yang didefinisikan oleh kepercayaan keliru. Kepercayaan ini telah terbentuk sebelumnya mengenai ras dan anggota kelompok ras. Menurut definisi ini, kita dapat melihat bagaimana rasisme dibangun berdasarkan stereotip, asumsi, dan pandangan berprasangka. Namun, rasisme bukan hanya sudut pandang berprasangka. Wellmen (dalam Shouhayib, 2015) menjelaskan bahwa rasial menjadi dinamika dalam lembaga, sejarah dan struktural yang kemudian melanggengkan kekuatan kelompok dominan.

Taylor (2018) mengungkapkan dalam tulisannya bahwa rasisme adalah suatu tanda lemahnya kedewasaan secara psikologis. Lebih lanjut, rasisme dan juga xenofobia* bukan berasal dari genetik namun sebuah pertahanan psikologis yang dihasilkan dari ketidakamanan dan kecemasan.

Selanjutnya sebuah penelitian mengenai Terror Management” menjelaskan mengenai sudut pandang rasis. Penelitian ini menunjukkan ketika seseorang diberi pengingat akan kematian, mereka akan merasakan kecemasan dan tidak aman. Mereka akan menjadi rentan untuk mencari status diri, materialisme, keserakahan, prasangka, dan agresi.

Mereka cenderung menyesuaikan diri dengan sikap yang akan diterima secara budaya dan kelompok mereka. Menurut Teori Manajemen Teror, motivasi dari perilaku ini adalah untuk meningkatkan rasa signifikansi atau nilai seseorang dalam menghadapi kematian. Selain itu untuk mendapatkan rasa aman atau memiliki dan sebagai cara melindungi diri terhadap ancaman kematian. Menurut Taylor (2018), rasisme adalah respons yang mirip dengan rasa yang lebih umum, tidak penting, atau tidak memadai.

Orang-orang yang sehat secara psikologis akan mempunyai keadaan diri yang stabil dan memiliki keamanan batin yang nantinya tidak menimbulkan rasis. Mereka tidak perlu memperkuat diri lewat identitas kelompok. Menjadi rasis dan ingin dominan dalam kelompok juga sama dengan respon untuk mengurasi rasa ketidakamanan lewat menggunakan narkoba atau minum-minuman beralkohol.

Perlu juga diingat bahwa perbedaan suku dan budaya terutama di Indonesia sebenarnya adalah anugrah yang bisa menghiasi kehidupan bermasyarakat. Tidak ada yang paling unggul atau minoritas karena pada dasarnya kita semua sama, satu Indonesia.

*Xenofobia adalah perasaan benci (takut, waswas) terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal; kebencian pada yang serba asing

 

Ditulis oleh: Fathin Nibras

Sumber:

CNN Indonesia. (2019, Aug 20). Netizen Kecam Aksi Rasis Kasus Asrama Papua. Retrieved from: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190820152726-192-423062/netizen-kecam-aksi-rasis-kasus-asrama-papua

Taylor, S. (2018, Jan 19).The Psychology of Racism. Retrieved from: https://www.psychologytoday.com/us/blog/out-the-darkness/201801/the-psychology-racism

Shouhayib, J. (2015, Dec). Racism in psychology. Retrieved from: https://www.apa.org/pi/about/newsletter/2015/12/racism-psychology

Write a comment