Alpas Fellas pasti tahu berita Keraton Agung Sejagat yang menghebohkan publik. Keraton tersebut didirikan oleh Toto Santoso dan Fanni Aminadia yang diduga melakukan praktik penipuan dengan mengaku sebagai raja-ratu. Dalam psikologi, mempercayai bahwa diri adalah sosok tertentu dapat masuk dalam kategori delusi. Delusi adalah keyakinan pasti yang tidak berubah dan tidak bisa membedakan mana bagian dari kenyataan dan khayalan, bahkan ketika seseorang dihadapkan dengan bukti yang bertentangan. Salah satu jenis delusi adalah waham kebesaran (grandiose). Waham ini berarti seseorang percaya bahwa dia memiliki identitas khusus, kekuasaan, kemampuan spesial, hingga meyakini memiliki relasi dengan Tuhan.
Tetapi, setelah menjalani tes psikologi oleh tim kepolisian, hasil menyatakan keduanya tidak mengalami delusi. Mereka berada dalam kondisi sehat fisik serta mental. Toto yang berperan sebagai raja memiliki kepribadian yang penuh imajinasi, yang mendorongnya mendirikan keraton. Toto dalam keadaan sadar selama menyampaikan imajinasinya kepada pengikut keraton. Sementara Fanni merupakan sosok yang penuh pesona namun licik, dan juga dalam kondisi sadar ketika menjadi ratu.
Satu hal yang pasti, kedua sosok tersebut telah membohongi banyak pihak. Lalu kenapa ada individu yang bisa melakukan kebohongan seperti itu? Sebenarnya, pada usia dini, kita semua mulai berbohong. Hanya saja kita lalu mengetahui bahwa berbohong itu “buruk” dan menyadari bahwa seharusnya tidak melakukannya. Tetapi kesadaran ini tidak berlaku bagi pembohong patologis yang tidak dapat berhenti menyebarkan ketidakjujuran.
Psikiater Judith Orloff menyebutkan bahwa alasannya mungkin berasal dari kecacatan secara neurologis dalam hal memiliki belas kasih dan empati. Dalam DSM-3, berbohong patologis adalah gangguan yang berdiri sendiri dan termasuk gejala pada gangguan kepribadian seperti psikopati dan narsisme. Narsisme dan psikopat memiliki defisiensi empati; mereka tidak merasakan empati seperti orang biasa. Tidak adanya empati menjadikan berbohong seakan hal normal untuk dilakukan. Pelakunya mungkin tidak menyadari bahwa mereka berbohong sepanjang waktu.
Sebuah studi di Harvard memberi kesempatan pesertanya untuk memenangkan uang jika mau berbohong. Hasilnya menunjukkan bahwa beberapa orang berpegang teguh pada kebenaran, sementara yang lain mau melakukan penipuan. Kelompok pembohong menunjukkan peningkatan aktivitas pada jaringan parietal frontal karena memutuskan antara kebenaran dan ketidakjujuran membutuhkan pemikiran yang kompleks. Hasil menggambarkan bahwa pusat penghargaan saraf dari peserta yang memenangkan uang dengan berbohong menjadi lebih aktif. Peneliti lalu berasumsi bahwa ketidakjujuran mungkin berasal dari ketidakmampuan untuk menahan godaan.
Studi lain menemukan bahwa semakin kita berbohong, kita semakin tidak sensitif terhadap ketidakjujuran. Saat berbohong, area respons emosional otak terpicu, tetapi respons ini akan berkurang setiap kali kita melakukan kebohongan. Jika orang diberi kesempatan untuk berbohong demi keuntungan pribadi, kebohongan kecil akan menjadi kebohongan lebih besar dari waktu ke waktu.
Ditulis oleh: Qurrota Aini
Sumber:
Dodgson, L. (2018, June 9). The psychological reasons why some people can’t stop lying. Retrieved from: https://www.businessinsider.sg/why-people-are-compulsive-liars-2018-6/?r=US&IR=T
The Jakarta Post. (2019, May 5). Study reveals why people lie. Retrieved from: https://www.thejakartapost.com/life/2019/05/04/study-reveals-why-people-lie.html
Nashr, J. (2020, January 22). Hasil Tes Psikologi Raja Keraton Agung Sejagat, Penuh Imajinasi. Retrieved from: https://nasional.tempo.co/read/1298116/hasil-tes-psikologi-raja-keraton-agung-sejagat-penuh-imajinasi
Garrett, N., Lazzaro, S., Ariely, D. & Sharot, T. (2016, December 19). The brain adapts to dishonesty. Retrieved from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27775721
Psychology Today. (2019, July 2). Delusional Disorder. Retrieved from: https://www.psychologytoday.com/intl/conditions/delusional-disorder