Fakta Dibalik Seseorang Menyebarkan Informasi Keliru Saat Stres

Saat ini, penyebaran berita buruk—baik yang hoax atau yang tidak—semakin akrab kita terima. Segalanya tumpah ruah: Mulai dari pembaruan informasi tentang gejala COVID-19, fakta ilmiah seputar pandemi, sampai berita-berita sensasional yang mengedepankan clickbait. Rasanya, sulit memilah informasi mana yang akan kita sampaikan pada teman atau keluarga. 

Tahukah Fellas, penelitian terdahulu menemukan bahwa informasi yang mengkhawatirkan lebih mungkin untuk tersebar dengan cepat daripada informasi positif? Selain itu, kita juga lebih mungkin untuk membagikan berita yang memperkuat keyakinan subjektif milik diri sendiri. 

Di saat kondisi pandemi saat ini, memang lebih mungkin untuk menimbulkan stres bagi masyarakat. Lalu, bagaimana dampak stres terhadap perilaku menyebarkan berita negatif atau mengkhawatirkan? Sebuah studi dilakukan melalui dua cara pengujian tingkat stres. Pertama, tingkat stres subjektif (stres menurut persepsi peserta studi) diukur menggunakan skala satu sampai sepuluh. Sementara tingkat stres objektif ditunjukkan oleh kortisol (hormon yang diproduksi lebih banyak saat tubuh mengalami stres). Tingkat kortisol diukur menggunakan sampel saliva.

Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi stres yang tinggi (stres objektif, ditunjukkan melalui kortisol) membuat peserta tidak terlalu terpengaruh dengan berita mengkhawatirkan. Semakin besar tingkat stres, semakin kecil peningkatan kekhawatiran. Selain itu, mereka juga cenderung tidak membagikan informasi yang mengkhawatirkan kepada peserta lain. Berbanding terbalik dengan kelompok yang memiliki tingkat stres lebih rendah (merasakan stres secara subjektif). Kelompok tersebut lebih peduli dan lebih mungkin untuk berbagi informasi yang mengkhawatirkan.

Sebuah artikel pendukung juga menyebutkan bahwa reaksi stres fisiologis akut dapat mengakibatkan proses adaptif yang berguna untuk menenangkan diri kita. Misalnya, kita secara alami meremehkan informasi negatif ketika sangat stres. Kita lalu mengurangi persepsi tentang risiko, yang membuat kita lebih mampu menanggapi situasi di depan kita. 

Sebaliknya, merasakan stres subjektif membuat kita lebih khawatir tentang situasi berisiko. Bahkan, ketika situasi tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan sumber kecemasan. Hal ini juga membuat kita lebih mungkin berbagi stres dengan orang lain melalui informasi yang mengkhawatirkan.

Kedua reaksi tersebut ternyata sama-sama memiliki kelemahan, Fellas. Reaksi stres berdasarkan kortisol dapat membuat kita meremehkan risiko, sehingga berpotensi membutakan kita untuk situasi yang benar-benar berbahaya. Sementara melebih-lebihkan risiko, seperti terlihat pada peserta yang secara subjektif merasakan stres, mungkin juga membuat kita mendapat masalah. Contohnya adalah kelompok orang anti-vaksin, yang keliru menilai vaksin sebagai berbahaya dan malah menempatkan diri mereka dalam risiko penyakit serius.

Nah, semoga Fellas dapat lebih bijak menyebarkan informasi di kala stres, ya! Jika Fellas ingin menenangkan pikiran, bisa mencoba meditasi ketika kita #DiRumahAja 🙂

 

 

Ditulis oleh: Qurrota Aini

Sumber:

Reynolds, E. (2020, May 26). We’re Less Likely To Spread Alarming Information While Experiencing Physiological Stress. Retrieved from: https://digest.bps.org.uk/2020/05/26/were-less-likely-to-spread-alarming-information-while-experiencing-physiological-stress/

Write a comment