Pernahkah Fellas menemukan awan yang menyerupai wajah atau binatang? Atau mungkin melihat noda di dinding seperti wajah seseorang? Atau kamu pernah menyadari bahwa bagian depan mobil terlihat seperti wajah yang tersenyum? Ternyata semua itu merupakan contoh dari sebuah fenomena psikologi bernama Pareidolia lho.
Pareidolia merupakan kecenderungan individu melihat wajah atau pola tertentu dari stimulus acak. Nantinya stimulus tersebut mengartikannya sebagai sebuah objek bermakna meskipun sebenarnya tidak ada. Dengan kata lain, kecenderungan individu untuk melihat wajah atau pola tertentu pada benda-benda mati. Pareidolia sudah sering dialami oleh kebanyakan orang. Apa ya yang membuat kita bisa mengalami Pareidolia ini?
Secara neurologis, ketika Pareidolia terjadi terdapat aktivasi pada bagian otak primary visual cortex, frontal dan oksipital. Ketika bagian otak ini aktif, individu mulai mengidentifikasi berbagai aspek dari sebuah stimulus dan memproses informasi tersebut sebagai sebuah wajah atau pola tertentu berdasarkan dari ekspektasi, memori, dan pengalaman yang dimiliki masing-masing individu. Lalu, proses tersebut akan mengaktifkan bagian otak bernama fusiform gyrus, yang berperan dalam mengenali wajah ataupun objek lainnya. Akibatnya kita mulai berpikir bahwa apa yang dilihat pada benda mati menyerupai wajah.
Sedangkan para Psikolog Evolusioner mengatakan bahwa fenomena ini justru berguna bagi leluhur kita. Salah satu alasannya karena kemampuan untuk dapat mengenali dan membedakan wajah akan menentukan keberlangsungan hidup dan sosialnya. Bahkan, bayi yang tidak bisa mengenali wajah orang tua akan sulit untuk dapat memenangkan hati orang tuanya, membuat kemungkinan untuk bertahan hidup menjadi lebih rendah. Pareidolia juga berperan penting untuk melindungi diri dari predator dikarenakan lebih aman bagi mereka untuk berasumsi adanya hewan buas dan menghindari bahaya tersebut.
Lalu, kira-kira siapa saja ya yang mengalami Pareidolia ini?Ternyata semua orang bisa mengalami fenomena ini. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa fenomena ini lebih sering terjadi pada individu yang religius atau percaya pada hal supernatural. Selain itu, individu yang neurotik atau dalam mood negatif juga lebih sering mengalami Pareidolia. Hal ini terjadi karena tingginya tingkat kewaspadaan yang membuat mereka cenderung melihat sesuatu yang tidak ada. Studi lain juga mengatakan bahwa Pareidolia lebih sering terjadi pada perempuan karena mereka umumnya memiliki kemampuan mengenali emosi lebih baik melalui ekspresi wajah.
Di dunia Psikologi pun Pareidolia juga digunakan menjadi sebuah alat tes, lho. Pareidolia diaplikasikan dalam Rorschach Inkblot Test, yaitu tes yang umumnya digunakan untuk mengukur kondisi mental seseorang dengan melihat bagaimana individu memproyeksikan perasaan, perilaku dan pengalaman sebelumnya melalui noda-noda tinta tak bermakna. Bahkan, wajah atau pola yang dilihat dapat merefleksikan keinginan, harapan atau hasrat individu yang melihatnya.
Ditulis oleh : Ria Khairunnisa
Sumber Tulisan :
Coolidge, F. L., & Coolidge, M. L. (2016, August 9). Why People See Faces When There Are None: Pareidolia. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/how-think-neandertal/201608/why-people-see-faces-when-there-are-none-pareidolia
Dahl, M. (2015, July 17). Neurotic People See Faces in Things. Diakses dari https://www.thecut.com/2015/07/neurotic-people-see-faces-in-things.html
Proverbio, A. M., & Galli, J. (2016). Women are better at seeing faces where there are none: an ERP study of face pareidolia. Social cognitive and affective neuroscience, 11(9), 1501-1512.
Riekki, T., Lindeman, M., Aleneff, M., Halme, A., & Nuortimo, A. (2013). Paranormal and religious believers are more prone to illusory face perception than skeptics and non‐believers. Applied Cognitive Psychology, 27(2), 150-155.
Robson, D. (2014, July 30). Future – Neuroscience: Why do we see faces in everyday objects? Diakses dari http://www.bbc.com/future/story/20140730-why-do-we-see-faces-in-objects