Beberapa waktu lalu, film Joker menjadi perbincangan banyak orang. Mengangkat latar belakang karakternya yang dikenal menjadi musuh utama Batman, sukses mencuri perhatian para penikmat film.
Tema kesehatan mental menjadi salah satu fokus yang tersirat di dalam alur cerita film Joker. Tentu, hal ini baik bagi masyarakat luas karena kesehatan mental menjadi sesuatu yang tidak lagi setabu dulu untuk dibicarakan. Perlahan semua orang mau membuka pikiran untuk melihat lebih dalam pentingnya kesehatan mental.
Namun sayangnya, ada hal keliru yang didapat setelah menonton film ini. Tidak sedikit orang yang langsung mendiagnosa dirinya tanpa melalui profesional yang tepat. Sering merasa sedih, akhirnya mendiagnosa dirinya sebagai seseorang yang mengalami depresi. Padahal merasa sedih adalah wajar dan semua orang mampu merasakan emosi tersebut. Sedih yang dialami orang yang mengalami depresi atau bukan tentu sangat berbeda. Keliru jika mengungkapkan kondisi kesehatan mental ke ranah umum bukan hasil dari professional mental health dan menganggap itu keren. Kondisi ini malah membuat survivor menjadi tersinggung karena merasa tidak benar-benar dipahami oleh orang lain dan menjadikannya sekadar “konten”.
Mendiagnosa diri bukan karena hasil dari pemeriksan professional mental health tentu bukan hal yang bijak dilakukan. Tidak menutup kemungkinan pula akan mendapat hasil yang keliru karena terbatasnya ilmu yang dimiliki.
Selain itu sebagai penikmat film, harus dipahami juga bahwa film Joker adalah karya fiksi yang tentunya dibumbui oleh drama. Tidak semua yang terjadi dalam film Joker adalah keadaan yang sebenarnya dialami orang lain. Namun tidak menutup kemungkinan juga ada yang mengalami hal serupa meski tidak dalam keseluruhan film.
Jika melihat lebih jauh, ada hal penting dari self diagnose yang harus kita pahami bersama dari film Joker. Masyarakat adalah lingkungan yang tidak bisa lepas dari kehidupan seseorang. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa kesehatan mental adalah hal yang tidak penting, tidak terlihat dampaknya bagi seseorang, dan stigma keliru lainnya. Padahal lingkungan sosial yang di dalamnya adalah kumpulan masyarakat, menjadi salah satu faktor perkembangan kesehatan mental seseorang.
Katanya orang dengan keadaan mental tertentu bisa menjadi penyebab adanya kejahatan yang terjadi di lingkungan. Anggapan ini tentu keliru dan kontradiktif. Pada kenyatannya yang sering menjadi korban dalam kejahatan ini adalah mereka dengan kondisi mental tertentu. Diperlakukan tidak adil, belum mendapat perawatan memadai bagi mereka yang ingin mengakses bantuan kesehatan mental, jadi salah satu permasalahan utama yang dialami. Belum lagi kalau malah menjadi bahan olokan orang lain karena dianggap caper ketika mengungkapkan kondisi mentalnya atau mencari pertolongan.
Sadar dan peduli dengan kesehatan mental tentu baik. Namun, jika melakukannya pada koridor yang keliru, tentu akan punya dampak yang tidak baik kan, Fellas?
Ditulis oleh: Fathin Nibras
Sumber:
Ahlgrim, C. (2019, Oct 6). ‘Joker’ makes an explicit connection between mental illness and violence. Here’s why that’s dangerous and wrong. Retrieved from: https://www.insider.com/joaquin-phoenix-joker-problematic-connects-mental-illness-and-violence-2019-10
Dodgson, L. (2019, Oct 13). Trying to diagnose the ‘Joker’ shows what the film gets wrong about mental illness, according to a psychopath expert. Retrieved from: https://www.insider.com/what-joker-gets-wrong-about-mental-illness-2019-10