Beberapa hari terakhir, netizen ramai membicarakan stigma terhadap depresi. Ada yang menggampangkan kondisi depresi, ada pula yang meromantisasinya dan melakukan self-diagnose. Banyak yang menganggap bahwa depresi bisa dihilangkan dengan mudah. Contohnya, dengan pergi traveling ke alam, curhat ke orang lain, rehat dari rutinitas, belajar untuk masa bodoh, dan anggapan lainnya. Anggapan tersebut tidak salah jika ditujukan kepada orang yang tepat. Akan berbeda kondisinya jika anggapan atau tips semacam itu ditujukan kepada mereka yang benar-benar mengalami gangguan depresi.
Tahukah Fellas, orang yang mengalami gangguan depresi tidak bisa memulihkan kondisinya hanya dengan traveling atau aktivitas pengalihan lainnya. Mereka yang mengalami depresi, bipolar, atau gangguan psikologis lain harus mendapatkan pertolongan yang tepat. Melakukan konseling, psikoterapi, dan terapi obat-obatan kepada psikolog atau psikiater merupakan hal yang bisa dilakukan.
Memangnya apa saja tanda orang yang mengalami gangguan depresi?
- Mengalami kondisi depresif dengan intensitas setiap hari
- Sering muncul perasaan sedih berkepanjangan
- Kehilangan minat pada hal yang biasanya mereka senangi
- Perasaan bersalah yang berlebihan dan merasa tidak berharga
Itulah beberapa gejala depresi yang sering muncul, dan tentunya gejala tersebut baru bisa ditegakkan dengan kondisi tertentu. Kondisi ini hanya bisa didiagnosis oleh ahli yang memiliki wewenang, yaitu psikolog atau psikiater. baca selengkapnya mengenai depresi di sini.
Munculnya self-diagnose pada masyarakat
Tidak hanya itu, ternyata ada yang meromantisasi kondisi depresi atau gangguan psikologis lain. Self-diagnose sering dilakukan, misalnya ketika mengalami perubahan suasana hati langsung merasa mengalami gangguan bipolar. Mengalami stres langsung melabeli diri sebagai penderita depresi, atau menyukai hal yang sangat rapi menganggap mengalami OCD. Padahal, diagnosis gangguan psikologis tidak semudah melihat sekejap mata. Para psikolog dan psikiater membutuhkan beberapa waktu untuk melakukan diagnosis dan memberikan treatment tepat yang dibutuhkan klien.
Stigma sosial dan stigma diri
Saat ini, pemahaman keliru mengenai kesehatan mental masih menjadi anggapan umum dan harus dibenahi. Menurut ahli, stigma mengenai kesehatan mental terbagi menjadi stigma sosial dan stigma diri. Stigma sosial ditandai dengan prasangka dan perilaku diskriminatif kepada seseorang karena label psikologis yang diberikan kepada mereka. Sedangkan, stigma diri adalah internalisasi penyintas kesehatan mental dari persepsi mereka mengenai diskriminasi. Stigma tersebut muncul karena berbagai faktor. Mereka yang mengalami kondisi mental tertentu diperlakukan berbeda dan dianggap lebih berbahaya dibanding mereka yang tidak memiliki masalah mental. Keyakinan ini tentunya tidak berdasar dan tidak logis.
Nah, Fellas, berlebihan terkait kondisi psikologis merupakan perilaku yang kurang bijak, baik menganggap negatif atau melebih-lebihkan tanpa diagnosis psikolog atau psikiater. Semoga Fellas tidak mudah percaya dengan stigma yang beredar di sosial media, serta mendapatkan pemahaman yang lebih baik, ya. Jangan ragu untuk menghubungi profesional jika memang membutuhkan 🙂
Ditulis oleh: Fathin Nibras
Diedit oleh: Qurrota Aini
Sumber:
Davey, G. C. L. (2013, August 20). Mental Health and Stigma. Retrieved from: https://www.psychologytoday.com/us/blog/why-we-worry/201308/mental-health-stigma
Schimelpfening, N. (2020, March 21). Symptoms of Clinical Depression. Retrieved from: https://www.verywellmind.com/top-depression-symptoms-1066910