Penulis: Fitriana Alfianty, Partnership Alpas
Alpas Fellas, menyambut hari kesehatan mental dunia, Alpas menyelenggarakan diskusi tentang kesehatan mental. ada 8 topik bersama psikolog dan 4 topik bersama komunitas yang sudah diselenggarakan pada 10-11 Oktober lalu.
Diskusi di hari dan sesi pertama dengan Kak Indah Sundari Jayanti, M.Psi., Psikolog membahas Quarter Life Crisis yang menjadi topik yang akrab di telinga kita akhir-akhir ini. Tidak jarang Quarter Life Crisis ini digambarkan sebagai situasi yang menakutkan dan sulit sekali untuk dilalui bagi kalangan anak muda. Berdasarkan diskusi dengan Kak Indah dalam Event MENTION, kita mengetahui bahwa Quarter Life Crisis ini merupakan krisis yang biasanya dialami oleh setiap manusia pada masa dewasa awal (23 –30 tahun) terutama pada aspek karir, relasi, dan finansial. Biasanya krisis ini dipicu oleh perasaan kalah dari diri sendiri/orang lain, perasaan insecure, kesepian karena harus melakukan segala hal sendiri, dan kebingungan tentang apa yang akan dilakukan di masa mendatang.
Dilanjut dengan sesi diskusi selanjutnya tentang Emotional Exhaustion oleh Kak I Dewa Gede Udayana, M.Psi., Psikolog. Emotional Exhaustion adalah keadaan stres yang dialami secara berlebihan dan berkepanjangan dalam hal pekerjaan, kehidupan personal, maupun keduanya. Faktor terjadinya Emotional Exhaustion dari segi pekerjaan dapat berupa burnout, waktu kerja yang tidak sesuai, tidak memiliki kontrol pekerjaan, pekerjaan tidak sesuai ekspektasi. Gejala yang paling sering dialami adalah mudahnya perubahan mood (mood changing), thinking difficulties, mengalami penurunan kualitas tidur, perubahan atau gangguan fisik (sakit kepala, badan panas-dingin, kambuh gejala magh). Berdasarkan gejala itu, dampak yang dirasakan dapat dibagi 3. Pertama adalah kesehatan, individu dapat mengalami penurunan kekebalan tubuh (imun), metabolisme, dan kesehatannya secara menyeluruh. Kedua pekerjaan, yaitu pengasingan (alienation) dari aktivitas pekerjaan dan penurunan (reduce) kinerja. Ketiga berdampak pada relasi, yaitu individu menjadi menarik diri dari lingkungan, penurunan tingkat kepercayaan diri, dan menjadi lebih mudah marah serta tersinggung. Tips sederhana dari kak Gede Udayana adalah dengan melakukan gaya hidup sehat, selalu terhubung dengan orang-orang terdekat, mengubah pikiran menjadi lebih positif, Relax-REst-Reflect-Release segala emosi dan mindfulness.
Pada sore hari, Kak Wiwit Puspitasari Dewi, M.Psi., Psikolog membahas tentang High Functioning Anxiety (HFA). HFA adalah kecemasan konstan yang dimiliki oleh individu namun tidak mengganggu hidupnya dengan signifikan, jadi individu tersebut tetap dapat berfungsi baik dalam berbagai aspek hidupnya. Dampak yang ditimbulkan dari seseorang yang memiliki HFA diantaranya yaitu sulit untuk santai, khawatir akan kegagalan, selalu sibuk karena punya banyak rencana, prokrastinasi, perlu kepastian dari orang lain dalam mengambil keputusan, sulit bilang ‘tidak’, bisa sangat bergantung dengan orang lain, kecenderungan overthinking. Sayangnya HFA tidak mungkin dihilangkan, namun dapat dikelola dengan beberapa cara, seperti diantaranya menjaga hidup sehat, latihan relaksasi, sleep hygiene, evaluasi pola pikir, fokus ke hal yang dalam kendali, berikan tempat untuk melakukan kesalahan, dan let it go (terima hal-hal yang tidak bisa dikendalikan), punya support group juga jadi salah satu cara mengelola diri dari HFA. Namun, jika HFA sudah sangat mengganggu kehidupan sehari-hari, coba mencari bantuan profesional.
Adapun sesi selanjutnya bersama Kak Nago Tejena, M.Psi., Psikolog membahas tentang trauma dan bagaimana kita bisa deal dengan trauma. Terkadang, keberadaan orang lain bisa menjadi dan memberikan makna untuk seorang individu, namun tidak semua hubungan manusia itu sempurna. Ada hubungan yang tidak sesuai dengan harapan. Seperti hubungan yang abusive yang bisa saja terbentuk dari lingkungan terdekat. Individu sedang berada dalam traumatic bounding jika dalam hubungan tersebut mengalami: Emotionally Distributed, ketika menjalani hubungan emosinya selalui naik turun, atau tidak stabil; Helplessness atau tidak memiliki suara dalam hubungan yang dijalani; Excessive Guilt atau merasa bersalah yang berlebihan; Dependency yaitu ketergantungan dengan pasangannya (orang tua, teman, pacar, suami/istri). Tenang saja, Alpas Fellas. Ada cara-cara untuk memperbaiki traumatic bonding yaitu harus mampu memahami dan mengontrol diri sendiri, melihat sebuah hubungan untuk diri sendiri, mengontrol diri sendiri dan tidak perlu berharap orang lain untuk bisa berubah, fokus dalam mengembangkan diri, mengubah diri menjadi lebih positif. Berani mengambil langkah dalam sebuah hubungan abusive loh, Alpas Fellas! Tak luput juga, komunikasi adalah kunci dari segalanya, jadi sampaikanlah jika ada yang kamu inginkan dan tidak perlu dipendam. “It’s not about depending on each other, but it’s about growing together”, tutup Kak Nago Tejena.
Sesi malam hari adalah diskusi bersama komunitas-komunitas kreatif. Bersama Kak Putu Ayu Diansukma Ramadhani (Dian) dari Bounce Back dan Kak Raudah Sabila (Bela) dari Kita Progresif, membahas berbagi hal mengenai apa itu Unconditional Support System, apa yang kita perlu pikirkan untuk menemukan atau menjadi dukungan yang mampu menerima. Kak Dian menjelaskan, yang dimaksud support system adalah orang-orang yang kita percaya di mana hubungan kita dengan mereka memungkinkan untuk saling memberi dan menerima dukungan. Dilengkapi lebih lanjut oleh Kak Bela bahwa support system sekarang sudah meluas, tak hanya menyertakan orang-orang terpercaya kita saja. Support system sekarang dapat juga menyertai sebuah platform, role model, atau apapun yang bahkan kita tidak berinteraksi secara langsung. Sangat wajar sebagai manusia biasa, kita memiliki waktu-waktu lemah di mana kita perlu support manusia lainnya, kalau hidup itu memang penuh naik-turun seperti rollercoaster. Mental yang sehat memiliki ciri-ciri, salah satunya; mengenali stress. Maka dari itu, kita perlu pandai mengidentifikasi dan mengola stress serta hal-hal yang sedang terjadi terhadap kita. Dengan mempunyai support system, kita memiliki bantuan untuk memberikan perspektif dan afirmasi dalam situasi-situasi yang akhirnya akan mengurangi beban mental untuk kita.
Terkadang selagi kita menghindari stress dan ingin refreshing dengan membuka sosial media, eh ternyata malah membuat kita semakin stress karena konten-konten yang tidak kita sukai. Dalam diskusi Staying Zen as Netizen, Kak Agita Pasaribu dari Bullyid Indonesia dan Kak Sepri Andi dari Social Connect membahas kepentingan dari kesadaran kita terhadap pengaruh media sosial kepada kita, namun itu juga berlaku sebaliknya yaitu seperti apa sih pengaruh tingkah laku kita kepada sosial media. Maka dari itu, penting sekali kita memerhatikan apa yang kita bagi ke media sosial. Kak Agita menceritakan, sebenarnya media sosial memiliki nilai positif untuk kita, bisa berupa banyaknya informasi yang tersedia maupun sampai dengan bantuan berkoneksi dengan orang lain. Namun seringkali kebebasan yang disediakan oleh media sosial menyangkut interaksi antar individu itu juga dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak semestinya untuk terjadi, seperti; cyber bullying, online harrassment, dll. Nah, konsekuensi terhadap tindakan-tindakan seperti itu tidak dapat dieksekusi semudah yang ada di dunia nyata, apalagi jika bentuknya adalah ujaran kebencian terutama menyangkut diri kita. Kak Agita menyarankan untuk merefleksi dulu sebelum membalas, ada pun opsi untuk tidak membalas sama sekali. Hal ini dapat menjaga dan bahkan meningkatkan ketenangan mental kita di saat berinteraksi di media sosial. Kak Andi memberi tips, sebelum ‘bermain’ dan menyebarkan informasi positif pada akun media sosial @socialconnect.id, Kak Andi memastikan konten itu bermanfaat dengan melakukan beberapa tahap dari seleksi penulis sampai dengan pengulasan oleh ahli medis atau psikolog dan juga ahli bahasa untuk kelayakan konten tersebut di media sosial loh, Alpas Fellas! Itu semua demi menjaga kenyamanan pihak tersangkut maupun pihak yang memperlajarinya. Selain itu, dengan mengurangi interaksi dengan media sosial itu sendiri dapat membantu menjaga ketenangan di dalam diri kita. Sudahkah Alpas Fellas mencoba Puasa Socmed?
xxx
Dalam rangka Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day) tahun ini, Alpas ingin mengajak kamu untuk ikut sesi interaktif di program Mention (Mental Health Conversation) yang membahas berbagai isu kesehatan mental yang populer saat ini. Program ini dilaksanakan melalui aplikasi Zoom Meetings dan Youtube Alpas Indonesia. Diisi oleh beberapa psikolog dan pionir komunitas yang ahli di bidangnya.