Fellas, kamu pasti sudah mendengar ya berita tentang aksi demo yang akhir-akhir ini sedang berlangsung? Aksi demo yang dilakukan untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja memang semakin gencar dilakukan sejak awal Oktober. Meskipun beberapa unjuk rasa dapat berjalan dengan damai, ada juga unjuk rasa yang akhirnya berujung dengan kericuhan antara polisi dengan demonstran. Misalnya saja demo yang terjadi pada tanggal 8 dan 13 Oktober lalu. Kerusuhan yang terjadi di dua unjuk rasa tersebut mengakibatkan kerusakan pada beberapa fasilitas publik, seperti halte transjakarta dan pos polisi. Nah, sebenarnya bagaimana ya kericuhan bisa muncul ketika terjadi demo?
Bagaimana ya, demo bisa terjadi?
Berdasarkan model sosial-psikologis, terdapat tiga kunci yang menimbulkan adanya tindakan kolektif seperti unjuk rasa. Yaitu, kemarahan pada ketidakadilan yang dirasakan, identifikasi sosial, dan kepercayaan mengenai efektivitas kelompok. Jika ada sekelompok orang yang merasa dirugikan karena hal yang sama, merasa relevan dengan kelompok sosial tertentu, dan percaya dapat membuat perbedaan bersama. Maka, tindakan kolektif seperti unjuk rasa pun lebih mungkin untuk terjadi.
Lalu, mengapa beberapa demo akhirnya menjadi ricuh?
Berdasarkan model identitas sosial yang dielaborasi, konflik antara demonstran dengan polisi dapat muncul ketika dua kondisi terpenuhi. Pertama, representasi kategorikal yang asimetris. Artinya, baik demonstran dan polisi sama-sama melihat bahwa tindakannya adalah yang sah, sedangkan tindakan pihak lain adalah tindakan tidak sah. Kedua, hubungan kekuasaan yang asimetris. Artinya, pihak polisi bisa saja memaksakan pandangan mereka mengenai tindakan apa yang sah atau tidak sah pada demonstran.
Nah, model ini juga menunjukkan ketika tindakan polisi dianggap memperlakukan semua demonstran dengan cara negatif yang sama, maka rasa identitas kolektif pun semakin meluas. Hal ini membuat kerumunan yang beragam menyatu untuk menentang polisi. Ketika hal tersebut terjadi, maka akan ada perubahan pada identitas kerumunan di unjuk rasa tersebut.
Jika demonstran yang “damai” dilihat sebagai “radikal” oleh polisi, maka demonstran yang damai bisa saja jadi melihat dirinya sebagai radikal juga. Mereka akan mulai mempertimbangkan bahwa demonstran yang benar-benar radikal adalah bagian dari kelompok mereka yang lebih besar. Kelompok yang lebih besar dapat menimbulkan adanya kekuatan yang lebih besar juga. Apalagi jika tiap anggota merasakan adanya rasa saling dukung untuk menghadapi polisi.
Ketika identitas kolektif berubah seperti ini, tujuan kelompok pun bisa ikut berubah. Misalnya, tujuan utamanya adalah untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja, maka tujuannya bisa berubah menjadi “mengungguli” polisi untuk bisa membela hak-hak demonstran. Akhirnya, demonstran dapat memandang bahwa tindakan kericuhan yang dilakukan adalah sebuah bentuk self-defense yang sah.
Ditulis oleh: Ria Khairunnisa
Diedit oleh: Qurrota Aini
Sumber:
Emamzadeh, A. (2020, October 11). The Psychology of Crowds, Protests, and Riots. Retrieved October 25, 2020, from https://www.psychologytoday.com/intl/blog/finding-new-home/202010/the-psychology-crowds-protests-and-riots
Patnistik, E. (2020, October 15). Besok, Mahasiswa Anggota BEM Gelar Demo Tolak UU Cipta Kerja di Istana. Retrieved October 25, 2020, from https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/15/18260601/besok-mahasiswa-anggota-bem-gelar-demo-tolak-uu-cipta-kerja-di-istana
Psychological Science. (2017, April 24). Hitting the Streets for Science: What Motivates Protest Behavior? Retrieved October 25, 2020, from https://www.psychologicalscience.org/publications/observer/obsonline/hitting-the-streets-for-science-what-motivates-protest-behavior.html